Mengulik Esensi Ungkapan Jawa "Urip Kuwi Mung Sakdermo Nglakoni" dan Implementasinya

Mengulik Esensi Ungkapan "Urip kuwi Mung Sakdermo Nglakoni" dan Implementasinya


Belakangan ini saya sering kali mendengar ungkapan "mung sakdermo nglakoni". Terdengar seperti sebuah kepasrahan. Ungkapan tersebut biasa diucapkan sambil mendesah panjang ketika mengalami kegagalan atau ketika menikmati keadaan yang tidak sesuai harapan.

Penggunaan ungkapan ini menurut saya kurang sreg karena terkesan memaksa ikhlas. Yaitu hanya untuk mengakhiri perasaan tidak puas serta menghentikan perasaan kecewa atas semua yang sudah dilakukan namun gagal akibat kondisi tertentu. Contohnya ketika masa jabatan berakhir lantas mencalonkan lagi tapi tidak terpilih, ketika terpaksa menutup usaha karena tidak ada profit, alami perceraian setelah belasan tahun berumah tangga, ketika putus kuliah karena tidak ada biaya, atau ketika acara terpaksa batal karena PPKM terkait pandemi Covid-19 padahal persiapan sudah maksimal, dsb. Kemudian menghela nafas "urip mung sakdermo nglakoni". 

Hal ini membuat saya penasaran akan maknanya. Ada yang mengartikan "Urip mung sakdermo nglakoni" adalah hidup itu sekedar menjalani takdir Tuhan. Jika hanya sekedar, kenapa mesti repot-repot banting tulang jika tetap miskin, belajar tekun hingga lulus tapi belum dapat pekerjaan, rutin berobat jika kemudian tetap mati?

Hmm, sepertinya saya kurang setuju dengan pemikiran itu karena ada indikasi pesimis. 

Jika dikulik menurut tata Bahasa Jawa maka "urip" berarti hidup, "mung" berarti hanya, "sak" berarti paling, ter- atau satu (contoh sakgedhene gunung = paling besarnya gunung), "dermo" atau "darmo" berasal dari Bahasa Sansekerta "dharma" berarti kewajiban, aturan, dan kebenaran (Wikipedia). Sedangkan "nglakoni" berarti melaksanakan atau menjalankan tugas.

Berikutnya dalam sebuah buku mengartikan bahwa "Hidup itu tinggal menjalankan kebenaran yang kita setujui" (Achmad Chodjim, 2013, Misteri Surah Yasin). Kebenaran yang disetujui dari sebelum lahir yaitu takdir. Ibaratnya melakukan teken kontrak antara manusia kepada Tuhan. Isi kontrak tentang hal-hal yang menjadi tugas dan harus diselesaikan manusia dalam hidupnya sesuai dengan darmanya. Manusia lahir membawa darmanya masing-masing atau kebenaran berbeda-beda  yang harus dipenuhi manusia itu dalam kehidupannya. Maka "sakdermo" berarti menjalankan perintah Tuhan dengan sungguh-sungguh dengan cara yang paling baik atau yang ter-baik dengan sebaik-baiknya.

Sehingga ungkapan Jawa "Urip mung sakdermo nglakoni" memiliki esensi bahwa kita hidup di dunia ini bertujuan untuk melaksanakan tugas dari Tuhan dengan sebaik-baiknya sesuai aturan yang benar yaitu ajaran Islam. Manusia diperintahkan untuk selalu mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya dan bermartabat sehingga memiliki derajat tinggi di dihadapan Tuhan yang maha esa. Ada korelasi yang kuat dengan ajaran Al-Qur'an. Ungkapan Jawa ini adalah salah satu cara pendekatan para waliyullah dalam menyebarkan ajaran Al-Qur'an khususnya di tanah Jawa kendati banyak yang belum bisa membaca Al-Qur'an tetapi ajarannya langsung mengena di hati masyarakat awam ketika itu.

Nah, jika esensinya demikian maka bagaimana implementasinya dlm kehidupan?

Kita ditakdirkan menjadi suami/istri maka jadilah suami/istri yang baik dan benar sesuai dengan syariat Islam. Kita ditakdirkan menjadi guru, pedagang, dokter, politisi, buruh TKW (seperti saya  he he) maka selain bersikap profesional dan secara totalitas juga harus sesuai dengan syariat Islam.

Meskipun sering mengalami kegagalan namun tetap melaksanakannya dengan berjuang keras sampai akhir takdir kehidupan.

Penjabaran esensi dari ungkapan "Urip mung sakdermo nglakoni" di atas menurut saya merupakan manifestasi keikhlasan.

Semoga saya bisa mengimplementasikannya. Aamiin.

Salam khas Ainun (anak saya) "love and peace" 


Komentar